Oleh : Al Ustadz Abu Hamzah Al
Sanuwi, Lc, MAg
Shalat tarawih adalah bagian dari
shalat nafilah (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada
bulan Ramadhan, dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap selesai
dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat.
Tarawih adalah bentuk jama’ dari
tarwihah. Menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan
Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan
duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.
Bahkan para salaf bertumpu pada
tongkat, karena terlalu lamanya berdiri. Dari situ, kemudian setiap empat
raka’at, disebut tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz.
Aisyah ditanya: “Bagaimana shalat
Rasul pada bulan Ramadhan?” Dia menjawab,
“Beliau tidak pemah menambah -di
Ramadhan atau di luarnya- lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat empat rakaat,
maka jangan ditanya tentang bagusnya dan lamanya. Kemudian beliau shalat 3
raka’at.” (HR Bukhari).
Kata (kemudian), adalah kata penghubung yang memberikan
makna berurutan, dan adanya jedah waktu.
Rasulullah shalat empat raka’at
dengan dua kali salam, kemudian beristirahat. Hal ini berdasarkan keterangan
Aisyah,
Adalah Rasulullah melakukan
shalat pada waktu setelah selesainya shalat Isya’, hingga waktu fajar, sebanyak
11 raka’at, mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, dan melakukan witir
dengan satu raka’at. (HR Muslim).
Juga berdasarkan keterangan Ibn
Umar, bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalat malam itu?”
Beliau menjawab,
Yaitu dua raka’at-dua raka’at,
maka apabila kamu khawatir shubuh, berwitirlah dengan satu raka’at. (HR
Bukhari).
Dalam hadits Ibn Umar yang lain
disebutkan:
Shalat malam dan siang dua
raka’at-dua raka’at. (HR Ibn Abi Syaibah). 1
1 Fadhilah Shalat Tarawih
1.1 Hadits Abu Hurairah:
Barang siapa melakukan qiyam
(lail) pada bulan Ramadhan, karena iman dan mencari pahala, maka diampuni
untuknya apa yang telah lalu dari dosanya.
Maksud qiyam Ramadhan, secara
khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan,
bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan
semua dosa; tetapi dengan syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala
yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala tersebut dad Allah. Bukan karena
riya’ atau sekedar adat kebiasaan. 2
Hadits ini dipahami oleh para
salafush shaalih, termasuk oleh Abu Hurairah sebagal anjuran yang kuat dari
Rasulullah untuk melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih, tahajud, dan
lain-lain). 3
1.2 Hadits Abdurrahman bin Auf
Sesungguhnya Ramadhan adalah
bulan dimana Allah mewajibkan puasanya, dan sesungguhnya aku menyunnahkan
qiyamnya untuk orang-orang Islam. Maka barangsiapa berpuasa Ramadhan dan qiyam
Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasta) keluar dari
dosa-dosanya sebagaimana pada hari is dilahirkan oleh ibunya. 4
Al Albani berkata, “Yang shahih
hanya kalimat yang kedua saja, yang awal dha’if.” 5
1.3 Hadits Abu Dzar:
Barang siapa qiyamul lail bersama
imam sampai is selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam
(penuh). 6
Hadits ini sekaligus juga
memberikan anjuran, agar melakukan shalat tarawih secara berjamaah dan
mengikuti imam hingga selesai.
2 Shalat Tarawih Pada Zaman Nabi
Nabi telah melaksanakan dan
memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau menjelaskan fadhilahnya, dan menyetujui
jama’ah tarawih yang dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab. Berikut ini adalah
dalil-dalil yang menjelaskan, bahwa shalat tarawih secara berjama’ah
disunnahkan oleh Nabi, dan dilakukan secara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.
2.1 Hadits Nu’man bin Basyir,
ia berkata:
Kami melaksanakan qiyamul lail
(tarawih) bersama Rasulullah pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga
malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan
(berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan
sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur. 7
2.2 Hadits Abu Dzar,
ia berkata:
Kami puasa, tetapi Nabi tidak
memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih), hingga Ramadhan tinggal tujuh
hari lagi, maka Rasulullah mengimami karni shalat, sampai lewat sepertiga
malam.
Kemudian beliau tidak keluar lagi
pada malam ke enam. Dan pada malam ke lima, beliau memimpin shalat lagi sampai
lewat separoh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah, “Seandainya engkau
menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?”, maka beliau bersada,
Barang siapa shalat (tarawih)
bersama imam sampai selesai. maka ditulis untuknya shalat satu malam (suntuk).
Kemudian beliau tidak memimpin
shalat lagi, hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat
pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami
sampai kami khawatir tidak mendapat falah.
saya (perawi) bertanya, apa itu
falah? Dia (Abu Dzar) berkata, “Sahur. ” 8
2.3 Tsa’labah bin Abi Malik Al
Qurazhi berkata:
Pada suatu malam, di malam
Ramadhan, Rasulullah keluar rumah, kemudian beliau melihat sekumplpulan orang
di sebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau lalu bertanya, Apa
yang sedang mereka lakukan?”
Seseorang menjawab, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak membaca Al
Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ali ahli membaca Al Qur’an, maka mereka shalat
(ma’mum) dengan shalatnya Ubay. ” Beliau lalu bersabda, “Mereka telah berbuat
baik dan telah berbuat benar.” Beliau tidak membencinya. 9
3 Shalat Tarawih Pada Zaman
Khulafa’ur Rasyidin
Para sahabat Rasulullah, shalat
tarawih di masjid Nabawi pada malam-malam Ramadhan secara awza’an
(berpencar-pencar).
Orang yang bisa membaca Al Qur’an
ada yang mengimami 5 orang, ada yang 6 orang, ada yang lebih sedikit dari itu,
dan ada yang lebih banyak. Az Zuhri berkata,
“Ketika Rasulullah wafat,
orangorang shalat tarawih dengan cara seperti itu. Kemudian pada masa Abu
Bakar, caranya tetap seperti itu; begitu pula awal khalifah Umar.”
Abdurrahman bin Abdul Qari’
berkata,
“Saya keluar ke masjid bersama
Umar pada bulan Ramadhan. Ketika itu orang-orang berpencaran; ada yang shalat
sendirian, dan ada yang shalat dengan jama’ah yang kecil (kurang dari sepuluh
orang). Umar berkata,
‘Demi Allah, saya melihat
(berpandangan), seandainya mereka saga satukan di belakang satu imam, tentu
lebih utama,’
Kemudian beliau bertekad dan
mengumpulkan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar lagi
bersama beliau pada malam lain. Ketika itu orang-orang sedang shalat di
belakang imam mereka. Maka Umar berkata,’Ini adalah sebaik-baik hal baru.’
Dan shalat akhir malam nanti
lebih utama dari shalat yang mereka kerjakan sekarang.”
Peristiwa ini terjadi pada tahun
14 H.
Umar mengundang para qari’ pada
bulan Ramadhan, lalu memberi perintah kepada mereka agar yang paling cepat
bacaanya membaca 30 ayat (3 halaman), dan yang sedang agar membaca 25 ayat,
adapun yang pelan membaca 20 ayat (+ 2 halaman).
Al A’raj 10 berkata,
“Kami tidak mendapatt orang-orang,
melainkan mereka sudah melaknat orang kafir (dalam do’a) pada bulan Ramadhan.”
la berkata,
“Sang qari’ (imam) membaca ayat
Al Baqarah dalam 8 raka’at. Jika ia telah memimpin 12 raka’at, (maka) barulah
orang-orang merasa kalau imam meringankan.”
Abdullah bin Abi Bakr berkata,
“Saya mendengar bapak saya
berkata,’Kami sedang pulang dart shalat (tarawih) pada malam Ramadhan. Kami
menyuruh pelayan agar cepat-cepat menyiapkan makanan, karena takut tidak
mendapat sahur’. “
Saib bin Yazid (Wafat 91 H)
berkata,
“Umar memerintah Ubay bin Ka’ab
dan Tamim Ad Dari agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11
raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kita bersandar
pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dart
tarawih, melainkan sudah di ujung fajar.”) 11
4 Bilangan Raka’at Shalat Tarawih
Dan Shalat Witir
Mengenai masalah ini, diantara
para ulama salaf terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga
mencapai belasan pendapat, sebagaimana di bawah ini.
Sebelas raka’at (8 + 3 Witir),
riwayat Malik dan Said bin Manshur.
Tigabelas raka’at (2 raka’at
ringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 + 2),
atau (8 + 5) menurut riwayat Muslim.
Sembilan belas raka’at (16 + 3).
Duapuluh satu raka’at (20 + 1),
riwayat Abdurrazzaq
Duapuluh tiga raka’at (20 + 3),
riwayat Malik, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab Abu
Hanifah, Syafi’i, Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubarak.
Duapuluh sembilan raka’at (28 +
1).
Tigapuluh sembilan raka’at (36 +
3), Madzhab Maliki, atau (38 + 1).
Empatpuluh satu raka’at (38 + 3),
riwayat Ibn Nashr dart persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah tentang shalatnya
penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni 2/167.
Empatpuluh sembilan raka’at (40 +
9); 40 tanpa witir adalah riwayat dari Al Aswad Ibn Yazid.
Tigapuluh empat raka’at tanpa
witir (di Basrah, Iraq).
Duapuluh empat raka’at tanpa
witir (dart Said Ibn Jubair).
Enambelas raka’at tanpa witir.
5 Berapa Raka’at Tarawih
Rasulullah?
Rasulullah telah melakukan dan
memimpin shalat tarawih, terdiri dart sebelas raka’at (8 3). Dalilnya sebagai
berikut.
Hadits Aisyah: ia ditanya oleh
Abu Salamah Abdur Rahman tentang glyamui lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia
menjawab:
Sesungguhnya beliau tidak pernah
menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas
raka’at. (HR Bukhari, Muslim).
Ibn Hajar berkata,
“Jelas sekali, bahwa hadits ini
menunjukkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”
Hadits Jabir bin Abdillah ia
berkata:
Rasulullah shalat dengan kami
pada bulan Ramadhan 8 raka’at dan witir. Ketika malam berikutnya, kami
berkumpul di masjid dengan harapan beliau shalat dengan kami.
Maka kami terus berada di masjid
hingga pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya Rasulullah, tadi malam kami
berkumpul di masjid, berharap anda shalat bersama kami,” maka beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku khawatir diwajibkan atas kalian. ” 12
Pengakuan Nabi tentang 8 raka’at
dan 3 witir.
Ubay bin Ka’ab datang kepada
Rasulullah, lalu berkata,”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan tads
malam (Ramadhan). Beliau bertanya,”Apa itu, wahai Ubay?”
la menjawab,”Para wanita di
rumahku berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an. Bagaimana kalau
kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,”Maka saya shalat dengan mereka 8
raka’at dan witir.
Maka hal itu menjadi sunnah yang
diridhai. Beliau tidak mengatakan apa-apa.” 13
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan
bahwa Rasulullah shalat tarawih dengan 20 raka’at, maka haditsnya tidak ada
yang shahih. 14
6 Berapa Rakaat Tarawih Sahabat
dan Tabi’in Pada Masa Umar
Ada beberapa riwayat shahih
tentang bilangan raka’at shalat tarawih para sahabat pada zaman Umar 43 .
Yaitu: 11 raka’at, 13 raka’at, 21 raka’at, dan 23 raka’at. Kemudian 39 raka’at
juga shahih, pada masa Khulafaur Rasyidin setelah Umar; tetapi hal ini khusus
di Madinah. Berikut keterangan pada masa Umar
Sebelas raka’at.
Umar memerintahkan kepada Ubay
dan Tamim Al Dari untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, sampai
makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh.
Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid
Imam Suyuthi dan Imam Subkhi
menilai, bahwa hadits ini sangat shahih ( �
�� ���). Syaikh Al Albani juga
menilai, bahwa hadits ini shahih sekali ( ��
��).
Tigabelas raka’at
Semua perawi dari Muhammd Ibn
Yusuf mengatakan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at
(HR Ibn Nashr), akan tetapi hadts ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang
mengatakan 11 raka’at.
Hal ini bisa dipahami, bahwa
termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula
yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.
Duapuluh raka’at (ditambah 1 atau
3 raka’at Witir).
Abdur Razzaq meriwayatkan dart
Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih).
Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al
Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dart jalur Yazid Ibn Khushaifah dart Saib
Ibn Yazid, bahwa – mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20
raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman
Utsman, karena terlalu lama berdiri.
Riwayat ini dishahihkan oleh Imam
Al Nawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh
Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain.
Sementara itu Syaikh Al Albani
menganggap, bahwa dua riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, tidak
bisa dijama’ (digabungkan). Maka beliau memakai metode tarjih (memilih riwayat
yang shahih dan meninggalkan yang lain).
Beliau menyatakan, bahwa Muhammad
Ibn Yusuf perawi yang tsiqah tsabt (sangat terpercaya), telah meriwayatkan dart
Saib Ibn Yazid 11 raka’at. Sedangkan Ibn Khushaifah yang hanya pada peringkat
tsiqah (terpercaya) meriwayatkan 21 raka’at. Sehingga hadits Ibn Khushaifah ini
-menurut beliau- adalah syadz (asing, menyalahi hadits yang lebih shahih). 15
Perlu diketahui, selain Ibn
Khushaifah tadi, ada perawi lain, yaitu Al Harits Ibn Abdurrahman Ibn Abi
Dzubab yang meriwayatkan dart Saib Ibn Yazid, bahwa shalat tarawih pada masa
Umar 23 raka’at. (HR Abdurrazzaq). 16
Selanjutnya 23 raka’at
diriwayatkan juga dari Yazid Ibn Ruman secara mursal, karena ia tidak menjumpai
zaman Umar.
Yazid Ibn Ruman adalah mawla
(mantan budak) sahabat Zubair Ibn Al Awam (36 H), ia salah seorang qurra’
Madinah yang tsiqat tsabt (meninggal pada tahun 120 atau 130 H). Ia memberi
pernyataan, bahwa masyarakat (Madinah) pada zaman Umar telah melakukar qiyam
Ramadhan dengan bilangan 23 raka’at, 17
7 Bagaimana Jalan Keluarnya?
Jumhur ulama mendekati
riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan metode at tarjih,
sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani. Dasar pertimbangan jumhur
adalah:
Riwayat 20 (21, 23) raka’at
adalah shahih.
Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah
shahih.
Fakta sejarah menurut penuturan
beberapa tabi’in dan ulama salaf.
Menggabungkan riwayat-riwayat
tersebut adalah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya
adalah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.
8 Beberapa Kesaksian Pelaku
Sejarah
Imam Atho’ Ibn Abi Rabah mawla
Quraisy, 18 lahir pada masa Khilafah Utsman (antara tahun 24 H sampai 35 H),
yang mengambil ilmu dari Ibn Abbas, (wafat 67 / 68 H), Aisyah dan yang menjadi
mufti Mekkah setelah Ibn Abbas hingga tahun wafatnya 114 H, memberikan
kesaksian:
“Saya telah mendapati orang-orang
(masyarakat Mekkah) pada malam Ramadhan shalat 20 raka’at dan 3 raka’at witir.”
19
Imam Nafi’ Al Qurasyi, 20 telah
memberikan kesaksian sebagai berikut:
“Saya mendapati orang-orang
(masyarakat Madinah); mereka shalat pada bulan Ramadhan 36 raka’at dan witir 3
raka’at.” 21
Daud Ibn Qais bersaksi,
“Saya mendapati orang-orang di
Madinah pada amasa pemerintahan Aban Ibn Utsman Ibn Affan Al Umawi (Amir
Madinah, wafat 105 H) dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Al Imam Al Mujtahid,
wafat 101 H) melakukan qiyamulail (Ramadhan) sebanyak 36 raka’at ditambah 3
witir.” 22
Imam Malik Ibn Anas (wafat 179 H)
yang menjadi murid Nafi’ berkomentar,
“Apa yang diceritakan oleh Nafi’,
itulah yang tetap dilakukan oleh penduduk Madinah. Yaitu apa yang dulu ada pada
zaman Utsman Ibn Affan. 23
Imam Syafi’i, 24 mengatakan,
“Saya menjumpai orang-orang di
Mekkah. Mereka shalat (tarawih, red.) 23 raka’at. Dan saya melihat penduduk
Madinah, mereka shalat 39 raka’at, dan tidak ada masalah sedikitpun tentang hal
itu.” 25
9 Beberapa Pemahaman Ulama Dalam
Menggabungkan Riwayat-Riwayat Shahih Di Atas
Imam Syafi’i, setelah
meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at berkomentar,
“Seandainya mereka memanjangkan
bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus. Dan seandainya
mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tetapi
yang pertama lebih aku sukai.” 26
Ibn Hibban (wafat 354 H) berkata,
“Sesungguhnya tarawih itu pada
mulanya adalah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat pan fang hingga memberatkan
mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at,
menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan
dan menjadikan tarawih dalam 36 raka’at tanpa with.” 27
Al Kamal Ibnul Humam mengatakan,
“Dalil-dalil yang ada
menunjukkan, bahwa dari 20 raka’at itu, yang sunnah adalah seperti yang pernah
dilakukan oleh Nabi, sedangkan sisanya adalah mustahab.” 28
Al Subkhi berkata,
“Tarawih adalah termasuk nawafil.
Terserah kepada masing-masing, ingin shalat sedikit atau banyak. Boleh jadi mereka
terkadang memilih bacaan panjang dengan bilangan sedikit, yaitu 11 raka’at. Dan
terkadang mereka memilih bilangan raka’at banyak, yaitu 20 raka’at daripada
bacaan panjang, lalu amalan ini yang terus berjalan.” 29
Ibn Taimiyah berkata,
“Ia boleh shalat tarawih 20
raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat
36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh shalat 11 raka’at,
13 raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at atau’ sedikitnya tergantung
lamanya bacaan dan pendeknya.”
Beliau juga berkata,
“Yang paling utama itu
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang shalat. Jika mereka kuat 10
raka’at ditambah witir 3 raka’at sebagaimana yang diperbuat oleh Rasul di
Ramadhan dan di luar Ramadhan- maka ini yang lebih utama. Kalau mereka kuat 20
raka’at, maka itu afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum
muslimin, karena ia adalah pertengahan antara 10 dan 40.
Dan jika ia shalat dengan 40
raka’at, maka boleh, atau yang lainnya juga boleh. Tidak dimaksudkan sedikitpun
dari hal itu, maka barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari
bilangan tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka ia telah
salah.” 30
Al Tharthusi (451-520 H) berkata,
Para sahabat kami (Malikiyah)
menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka
berkata,
“Mungkin Umar pertama kali
memerintahkan kepada mereka 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada
raka’at pertama, imam membaca sekitar dua ratus ayat, karena berdiri lama
adalah yang terbaik dalam shalat.
Tatkala masyarakat tidak lagi
kuat menanggung hal itu, maka Umar memerintahkan 23 raka’at demi meringankan
lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan raka’at. Maka
mereka membaca surat Al Baqarah dalam 8 raka’at atau 12 raka’at sesuai dengan
hadits al a’raj tadi.”
Telah dikatakan, bahwa pada waktu
itu imam membaca antara 20 ayat hingga 30 ayat. Hal ini berlangsung terus
hingga yaumul Harrah, 31 maka terasa berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya
mereka mengurangi bacaan dan menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3
witir. Dan inilah yang berlaku kemudian.
Bahkan diriwayatkan, bahwa yang
pertama kali memerintahkan mereka shalat 36 raka’at ditambah dengan 3 witir
ialah Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (wafat 60 H). Kemudian hal tersebut
dilakukan terus oleh khalifah sesudahnya.
Lebih dari itu, Imam Malik
menyatakan, shalat 39 raka’at itu telah ada semenjak zaman Khalifah Utsman.
Kemudian Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (wafat 101 H) memerintahkan agar imam
membaca 10 ayat pada tiap raka’at.
Inilah yang dilakukan oleh para
imam, dan disepakati oleh jama’ah kaum muslimin, maka ini yang paling utama
dari segi takhfif (meringankan). 32
Ada juga yang mengatakan, bahwa
Umar memerintahkan kepada dua sahabat, yaitu “Ubay bin Ka’ab 45 dan Tamim Ad
Dad, agar shalat memimpin tarawih sebanyak 11 raka’at, tetapi kedua sahabat
tersebut akhirnya memilih untuk shalat 21 atau 23 raka’at. 33
Al Hafidz Ibn Hajar berkata,
“Hal tersebut dipahami sebagai
variasi sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan manusia. Kadang-kadang 11
raka’at, atau 21, atau 23 raka’at, tergantung kesiapan dan kesanggupan mereka.
Kalau 11 raka’at, mereka memanjangkan bacaan hingga bertumpu pada tongkat. Jika
23 raka’at, mereka meringankan bacaan supaya tidak memberatkan jama’ah. 34
Imam Abdul Aziz Ibn Bazz
mengatakan:
“Diantara perkara yang terkad nng
samar bagi sebagian orang adalah shalat tarawih Sebagian mereka mengira, bahwa
tarawih tidak boleh kurang dari 20 raka’at. Sebagian lain mengira, bahwa
tarawih tidak boleh lebih dari 11 raka’at atau 13 raka’at. Ini semua adalah
persangkaan yang tidak pada tempatnya, bahkan salah; bertentangan dengan dalil.
Hadits-hadits shahih dari
Rasulullah telah menunjukkan, bahwa shalat malam itu adalah muwassa’ (lelunsa,
lentur, fleksibei). Tidak ada batasan tertentu yang kaku. yang tidak boleti
dilanggar.
Bahkan telah shahih dari Nabi,
bahwa beliau shalat malam 11 raka’at, terkadang 13 raka’at, terkadang lebih
sedikit dari itu di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Ketika ditanya tentang
sifat shalat malam, beliau menjelaskan:
dua rakaat-dua raka’at, apabila
salah seorang kamu khawatir subuh, maka shalatlah satu raka’at witir, menutup
shalat yang ia kerjakan. ” (HR Bukhari Muslim).
Beliau tidak membatasi dengan
raka’at-raka’at tertentu, tidak di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Karena
itu, para sahabat pada masa Umar di sebagian waktu shalat 23 raka’at dan pada
waktu yang lain 11 raka’at. Semua itu shahih dari Umar dan para sahabat pada
zamannya.
Dan sebagian salaf shalat tarawih
36 raka’at ditambah witir 3 raka’at. Sebagian lagi shalat 41 raka’at. Semua itu
dikisahkan dari mereka oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan ulama lainnya.
Sebagaimana beliau juga menyebutkan, bahwa masalah ini adalah luas (tidak
sempit).
Beliau juga menyebutkan, bahwa
yang afdhal bagi orang yang memanjangkan bacaan, ruku’. sujud, ialah
menyedikitkan bilangan raka’at(nya). Dan bagi yang meringankan bacaan, ruku’
dan sujud (yang afdhal) ialah menambah raka’at(nya). Ini adalah makna ucapan
beliau.
Barang siapa merenungkan sunnah
Nabi, ia pasti mengetahui, bahwa yang paling afdhal dari semi In itu ialah 11
raka’at atau 13 raka’at. di Ramadhan atau di luar Ramadhan.
Karena hal itu yang sesuai dengan
perbuatan Nabi dalam kebiasaannya. Juga karena lebih ringan bagi jama’ah. Lebih
dekat kepada khusyu’ dan tuma’ninah. Namun, barangsiapa menambah (raka’at),
maka tidak mengapa dan tidak makruh, seperti yang telah talu.” 35
10 Kesimpulan
Maka berdasarkan paparan di atas,
saya bisa mengambil kesimpulan, antara lain:
Shalat tarawih merupakan bagian
dari qiyam Ramadhan, yang dilakukan setelah shalat Isya’ hingga sebelum fajar,
dengan dua raka’at salam dua raka’at salam.
Shalat tarawih memiliki keutamaan
yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi menganjurkannya -dan para sahabat pun
menjadikannya- sebagai syiar Ramadhan.
Shalat tarawih yang lebih utama
sesuai dengan Sunnah Nabi, yaitu bilangannya 11 raka’at. Inilah yang lebih
baik. Seperti ucapan Imam Malik,
“Yang saya pilih untuk diri saya
dalam qiyam Ramadhan, ialah shalat yang diperintahkan oleh Umar, yaitu 11
raka’at, yaitu (cara) shalat Nabi. Adapun 11 adalah dekat dengan 13.” 36
Perbedaan tersebut bersifat
variasi, lebih dari 11 raka’at adalah boleh, dan 23 raka’at lebih banyak
diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada zaman
Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 raka’at.
Yang lebih penting lagi adalah
prakteknya harus khusyu’, tuma’ninah. Kalau bisa lamanya sama dengan tarawihnya
ulama salaf, sebagai pengamalan hadits “Sebaik-baik shalat adalah yang panjang
bacaanya”.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu murni dari al faqir.
Ya Allah bimbinglah kami kepada kecintaan dan ridhaMu. Dan antarkanlah kami
kepada Ramadhan dengan penuh aman dan iman, keselamatan dan Islam.
Maraji’
Shahih Bukhari.
Shahih Muslim, Maktabah Dahlan,
Bandung.
Sunan Abu Daud, Baitul Afkar Ad
Dauliyah, Amman, Yordan.
Sunan Tirmidzi, Baitul Afkar Ad
Dauliyah, Amman, Yordan.
Sunan Ibn Majah, Baitul Afkar Ad
Dauliyah, Amman, Yordan.
Sunan Nasa’i, Baitul Afkar Ad
Dauliyah, Amman, Yordan.
Al Majmu’, An Nawawi, Darul Fikr.
Fath Al Aziz, Ar Rafi’i, Darul
Fikr (dicetak bersama Al Majmu’).
At Tamhid, lbn Abdil Barr, tahgiq
Muhammad Abdul Qadir Atha, Maktabah Abbas Ahmad Al Bazz, Mekkah.
Fathul Bari, Ibn Hajar, targim
Muhammad Fuad Abdul Baqi.
Asy Syarhul Kabir, Ibn Qudamah,
tahgiq Dr. Abdullah At Turkiy, Hajar, Jizah.
Al Hawadits Wal Bida’, Abu Bakar
Ath Tharthusi, tahgiq Abdul Majid Turki, Darul Gharb Al Islami.
Tanbihul Ghafilin, As Samarqandi,
tahgiq Abdul Aziz Al Wakil, Darusy Syuruq, Jeddah
Al Hawi Li AI Fatawa, As Suyuthi,
Darul Fikr, Beirut.
Shalat At Tarawih, Al Alban!, Al
Maktab Al Islami, Beirut.
Fatwa Lajnah Daimah, tartib Ahmad
Ad Duwaisi, tartib Adil Al Furaidan.
AI Muntaqa Min Fatawa Al Fawzan.
Al Ijabat Al Bahiyyah, Al Jibrin,
i’dad dan tahrij oleh Saad As Sa’dan, Darul Ashimah, Riyadh.
Majalis Ramndhan, Ibn Utsaimin.
Faidh Al Rahim, Ath Thayyar,
Maktabah At Taubah, Riyadh.
Ash Shalah, Ath Thayyar, Darul
Wathan, Riyadh.
Durus Ramadhan, Salman Al Audah,
Darul Wathan, Riyadh.
Majmu’ Fatawa, Ibn Taimiyah.
Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq,
Darul Fikr, Beirut.
Al Fatawa Al Haditsiyah, Ibn
Hajar Al-Haitsami.
Di kutip dari : humairagjoy.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar